Apa yang bisa dikerjakan sendiri, kerjakanlah segera, jangan ditunda-tunda! 

Di atas pohon albasia, seekor burung pipit sedang memberi makan anak-anaknya. “Kalian harus cepat belajar terbang,” kata induk pipit. “Bulu kami belum tumbuh dengan sempurna, tunggu sampai bulu kami tumbuh dengan sempurna,” pinta anak-anak pipit. 

Pohon albasia, tempat burung pipit meletakkan sarangnya adalah milik seorang petani. Petani itu tinggal di sebuah pondok bersama istri dan dua orang anaknya. Pondok milik petani itu sudah reyot karena dimakan rayap. Suatu hari Pak Tani berencana memperbaiki tiang pondoknya. Ia berjalan berkeliling bersama dua anaknya. Mereka melihat-lihat pohon albasia yang tampak kokoh itu.22 “Nak,” kata Pak Tani, “mintalah bantuan para tetangga untuk menebang pohon ini. Kita akan menggunakannya untuk memperbaiki tiang pondok.” 

“Baiklah,” jawab anaknya. “Nanti sore saya akan meminta bantuan tetangga.” 

Mendengar hal itu, anak-anak pipit panik. “Ibu, ini sungguh bahaya. Pak Tani dan anaknya akan menebang pohon ini. Padahal, kami belum bisa terbang. Bulu-bulu sayap kami belum semuanya tumbuh.” Ibu Pipit tampak tenang-tenang saja, dan mencoba menenangkan anak-anaknya. Sore harinya, Pak Tani dan kedua anaknya berjalan-jalan di bawah pohon. “Bagaimana, Nak?” Apakah kalian sudah meminta bantuan para tetangga?” tanya Pak Tani. “Mereka tidak bisa membantu, Ayah. Mereka semua sedang sibuk.” Jawab salah satu anaknya. 

“Ya sudah,” gumam Pak Tani. “Kalau begitu, kita tunggu saja sampai para tetangga tidak sibuk dan bersedia membantu kita.” Sore itu pun berlalu begitu saja. Tidak terjadi penebangan pohon. Induk Pipit dan anak-anaknya bisa tidur dengan tenang. 

Keesokkan paginya, kembali Pak Tani berjalan-jalan di bawah pohon albasia itu, lalu menyuruh anaknya meminta bantuan tetangga untuk menebang pohon tersebut seperti kemarin sore. Anaknya pun pergi menuruti suruhan ayahnya.23 Mendengar hal itu, anak-anak pipit kembali panik. Ibunya pun berusaha menenangkan mereka kembali. 

Tak berapa lama kemudian, anak Pak Tani kembali, “Mereka belum bisa membantu, Ayah. Mereka baru saja menyelesaikan pekerjaannya, sekarang sedang beristirahat.” Pak Tani mengangguk-angguk. “Ya sudah. Kalau begitu, kita tunggu mereka selesai beristirahat.” Pagi itu pun berlalu seperti biasa. Tidak terjadi penebangan pohon. 

Sore harinya, Pak Tani kembali berjalan-jalan di bawah pohon itu. “Sekarang, mintalah bantuan tetangga, Nak. Mereka pasti sudah selesai beristirahat. Kita harus menebang pohon ini segera,” suruh Pak Tani kepada anak-anaknya. “Baiklah, Ayah, kami akan menemui mereka,” jawab anak-anaknya. Anak-anak pipit panik lagi mendengar hal itu. Induk pipit pun berusaha menenangkan anak-anaknya kembali. Pak Tani masih berdiri di bawah pohon itu. Ia mengukur batang pohon yang besar. Lalu, datanglah anak-anaknya, “Mereka masih memiliki urusan lain sehingga belum bisa membantu kita menebang pohon ini,” ujarnya. 

Pak Tani berpikir sejenak. “Kalau begitu, besok pagi, kita tebang sendiri pohon ini, nak! Kita harus menyelesaikan pekerjaan kita sendiri, tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan orang lain,” katanya. “Baiklah, Ayah. Besok pagi, kita akan menebang pohon ini,” jawab anak-anaknya. 

Kali ini, anak-anak pipit tidak terlihat panik. Setiap kali mereka mendengar Pak Tani akan menebang pohon, Induknua selalu menenangkan mereka. Namun kali ini, rupanya justru Induk Pipit lah yang tampak panik. “Anakanakku, keadaan sekarang berbahaya. Malam ini, kita harus pindah ke pohon yang lain, dengan cara apa pun.” Kata induk pipit. Anak-anak pipit kebingungan dengan kepanikan ibunya. 



Pagi harinya, Pak Tani dengan dibantu dua anaknya, mulai menebang pohon. Dari pohon lain, induk Pipit dan anak-anaknya melihat pohon albasia itu rubuh, berikut sarang tempat mereka tinggal. Dalam hati, mereka bersyukur bisa selamat. “Begitulah, Nak,” kata Induk Pipit. “Kalau kita menggantungkan diri pada bantuan orang lain seperti petani itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Kita harus lakukan segera apa pekerjaan kita.” Anak-anak pipit mengangguk. Mereka bertekad untuk segera belajar terbang, tanpa menunggu bulu-bulu sayap mereka tumbuh sempurna. [YH] 

Teman-teman, seumpama “petani” tadi adalah diri kita sendiri. Kemudian sikap “petani” ketika akan menebang pohon diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari misalnya ketika akan mengerjakan PR atau membersihkan kelas... apa yang akan terjadi? Oleh karena itu jangan mengharapkan bantuan orang lain untuk pekerjaan yang bisa kita lakukan sendiri 

Indonesian Education Promoting Foundation
Fadilah Hasim dan Yanti Herlanti